- Diposting oleh : BILI GRIM, S.Pd
- pada tanggal : November 20, 2025
PKBM SILOAM ~ Berbicara soal sejarah dan perkembangan DJI, saya selalu ingat momen pertama kali saya melihat teman saya menerbangkan sebuah drone Phantom putih yang bentuknya agak “kaku”, tapi stabilnya gak main-main. Itu sekitar tahun 2014, dan jujur saja, saya sempat mikir dia pakai alat dari NASA. Dari situlah saya mulai ngulik DJI dan gimana perusahaan ini bisa jadi raksasa drone dunia, bukan cuma buat content creator tapi juga di industri besar kayak inspeksi, agrikultur, sampai perfilman kelas Hollywood.
Kalau ditarik ke belakang, DJI sebenarnya dimulai dari sesuatu yang… sederhana. Tahun 2006, Frank Wang (nama lengkapnya Wang Tao) mulai merintis perusahaan ini dari kamarnya di asrama Shenzhen University. Ini salah satu cerita yang paling sering saya ingat sebagai motivasi pribadi. Dia cuma punya mimpi bikin sistem kontrol flight yang stabil karena pada waktu itu, drone itu ribet banget, gampang jatuh, dan nggak user-friendly sama sekali. Saya pernah baca kalau awal-awal dia kerja hampir tanpa istirahat dan proyek pertamanya bahkan ditolak beberapa perusahaan. Rasanya relate banget—siapa di sini yang pernah bikin proyek keren tapi gak dilirik orang?
Fast forward ke 2010–2013, DJI mulai naik daun lewat DJI Naza dan WooKong, dua flight controller yang waktu itu dianggap “holy grail” buat para hobiis. Saya dulu pernah nyobain drone rakitan pake Naza, dan sumpah… itu pertama kalinya saya ngerasa drone saya gak “berontak”. Dari situ saya belajar kalau teknologi stabilisasi itu bukan cuma soal sensor, tapi gimana software dan hardware ngobrol dengan baik. Kadang saya suka mikir, kalau saya dulu ngerti coding lebih dalam, mungkin sekarang udah bikin drone sendiri… meski mungkin lebih sering jatuh sih.
Masuk era DJI Phantom, ini titik balik terbesar DJI menurut saya. Phantom 1 (sekitar 2013) bikin drone jadi barang mainstream. Sebelumnya, drone itu identik dengan dunia engineering yang ribet. Tapi Phantom datang dengan konsep “take-off and record”, dan tiba-tiba videografer wedding pun mulai nawarin paket aerial shot. Saya sendiri pernah dapat klien pertama dari video pantai yang saya rekam pakai Phantom 3, hasilnya agak goyang karena angin, tapi klien malah bilang “keren banget”. Dari situ saya sadar bahwa teknologi yang baik bisa bantu “nutupin” skill yang masih pas-pasan.
Seiring waktu, DJI makin gila perkembangan teknologinya. Mavic Series yang diluncurkan 2016 itu game changer terbesar. Drone jadi bisa dilipat, gampang dibawa, tapi kualitasnya tetap kelas profesional. Saya ingat waktu pertama kali pegang Mavic Pro, saya hampir nggak percaya kamera sekecil itu bisa bikin rekaman sampai 4K yang tajam. Ini juga alasan kenapa kata kunci seperti drone portable, gimbal stabilization, dan UAV technology jadi populer banget di kalangan kreator dan blogger.
Yang paling bikin saya kagum adalah cara DJI memperluas “ekosistemnya”. Mereka tidak hanya menjual drone, tapi juga membuat dunia aerial imaging jadi lengkap: ada Ronin, Osmo, Goggles, sampai software editing. Kadang saya merasa DJI itu seperti Apple-nya dunia drone—produk rapi, ekosistem saling nyambung, dan tiap rilis bikin orang heboh.
Tentu saja, perjalanan DJI juga nggak mulus. Ada isu regulasi, larangan penggunaan di beberapa negara, sampai persaingan dari perusahaan Amerika dan Eropa. Bahkan saya ingat masa ketika banyak orang takut drone DJI mereka bakal “dikunci” di area tertentu karena geofencing. Saya sendiri pernah kesel karena drone saya tiba-tiba nggak mau take-off cuma gara-gara saya dekat zona bandara, padahal saya cuma mau tes di halaman belakang. Tapi ya, aturan tetap aturan.
Kalau melihat sejarah DJI dari kamar asrama sampai ke pasar global dengan pangsa lebih dari 70%, saya jadi ingat pelajaran penting: konsistensi lebih penting daripada ide besar. Frank Wang bukan orang pertama yang punya ide tentang drone, tapi dia orang yang paling gigih menyelesaikan masalahnya satu per satu. Buat saya pribadi, ini jadi pengingat bahwa bahkan proyek kecil sekalipun bisa berkembang kalau dijalani terus-menerus. Dan, ya, sesekali kita harus siap gagal atau ditegur karena drone kita “nyasar” ke rumah tetangga.
Kalau kamu seorang blogger atau content creator, membahas perkembangan DJI ini bisa jadi konten evergreen yang powerful, karena topiknya selalu dicari—mulai dari UAV technology, aerial photography, sampai drone comparison. Dan jujur, cerita DJI itu bukan cuma tentang teknologi, tapi tentang bagaimana sebuah mimpi kecil bisa berubah jadi inovasi besar yang mempengaruhi dunia.
